"Cerita Menyentuh dari India-Berteman"
outboundbangkabelitung.com - Istriku
berkata kepada aku yang sedang baca koran. Berapa lama lagi kamu baca
koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang
untuk makan. Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu2nya,
namanya Sindu tampak ketakutan, air matanya banjir di depannya ada
semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (nasi khas India /curd
rice).
Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam
usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini.
Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan cu
rd rice ada “cooling effect”.
Aku
mengambil mangkok dan berkata Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu
makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan
teriak2 sama ayah. Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang
punggungku.
Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air
mata dengan tangannya, dan berkata “boleh ayah akan saya makan curd rice
ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi
saya akan minta” agak ragu2 sejenak “akan minta sesuatu sama ayah bila
habis semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan saya?”
Aku menjawab “oh pasti, sayang.” Sindu tanya sekali lagi, “betul nih
ayah ?” “Yah pasti sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan
dan lembut sebagai tanda setuju.” Sindu juga mendesak ibunya untuk janji
hal yang sama, istriku menepuk tangan Sindu yang merengek sambil
berkata tanpa emosi, janji kata istriku.
Aku sedikit khawatir dan
berkata: “Sindu jangan minta komputer atau barang2 lain yang mahal yah,
karena ayah saat ini tidak punya uang.” Sindu menjawab : jangan
khawatir, Sindu tidak minta barang2 mahal kok. Kemudian Sindu dengan
perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad
menghabiskan semua nasi susu asam itu.
Dalam hatiku aku
marah sama istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang
tidak disukainya. Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku
dengan mata penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku dan juga
ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata Sindu mau kepalanya
digundulin/dibotakin pada hari Minggu. Istriku spontan berkata
permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin.
Juga
ibuku menggerutu jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak
nonton TV dan program2 TV itu sudah merusak kebudayaan kita. Aku coba
membujuk: Sindu kenapa kamu tidak minta hal yang lain kami semua akan
sedih melihatmu botak. Tapi Sindu tetap dengan pilihannya, tidak ada
yah, tak ada keinginan lain, kata Sindu.
Aku coba
memohon kepada Sindu : tolonglah kenapa kamu tidak mencoba untuk
mengerti perasaan kami. Sindu dengan menangis berkata : ayah sudah
melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi susu asam itu dan
ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan saya. Kenapa ayah sekarang
mau menarik/menjilat ludah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan
pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang
apapun yang terjadi seperti Raja Harishchandra (raja India jaman dahulu
kala) untuk memenuhi janjinya rela memberikan tahta,
harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri. Sekarang aku
memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku : janji kita harus ditepati.
Secara serentak istri dan ibuku berkata : apakah aku sudah gila? Tidak,
jawabku, kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah
belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu, permintaanmu akan
kami penuhi. Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar dan matanya
besar dan bagus.
Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas
aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan
kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya. Tiba2
seorang anak laki2 keluar dari mobil sambil berteriak : Sindu tolong
tunggu saya. Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki2 itu botak.
Aku berpikir mungkin”botak” model jaman sekarang.
Tanpa
memperkenalkan dirinya seorang wanita keluar dari mobil dan berkata:
“anak anda, Sindu benar2 hebat. Anak laki2 yang jalan bersama-sama dia
sekarang, Harish adalah anak saya, dia menderita kanker leukemia.”
Wanita itu berhenti sejenak, nangis tersedu-sedu, “bulan lalu Harish
tidak masuk sekolah, karena pengobatan chemo therapy kepalanya menjadi
botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek/dihina oleh
teman2 sekelasnya.
Nah Minggu lalu Sindu datang ke
rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin
terjadi. Hanya saya betul2 tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan
rambutnya yang indah untuk anakku Harish.
Tuan dan
istri tuan sungguh diberkati Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati
mulia.” Aku berdiri terpaku dan aku menangis, malaikat kecilku, tolong
ajarkanku tentang kasih.
Sumber : Resensi.net